Februari 14, 2015

Cerpen : We Found Love in A Hopeless Place

Oleh : Aul Howler


“Dompet udah? Tiket? Handphone?”
“Udah semua kok, Ma”
“Jangan lupa nyalain GPS handphone ya. Segera telepon kalau nyasar. Terus kalau Kamu tiba-ti....”
“IYA MA. YA AMPUN AKU UDAH DUA PULUH TAHUN”

Mama terkekeh geli. Kebiasaan buruknya itu ya, begitu. Kalau aku akan pergi sendiri ke suatu tempat, bahkan walaupun hanya ke rumah teman atau sahabat, kekhawatirannya cenderung berlebihan. Salahku juga sih, kenapa mau dilahirkan sebagai perempuan. Dan kenapa harus lahir di urutan terakhir.

“Tanda sayang,” kata mama selalu setiap kali aku mengeluh kenapa harus diberi perhatian terlalu banyak. Bukannya tidak bersyukur atau apa. Tapi kakak-kakakku tak pernah mendapatkan kesulitan bila menyangkut kepergian atau keselamatan. Mereka bisa pergi ke mana saja yang mereka mau. Kapan pun. Selama apapun. Enak betul.

“Pergi dulu, Ma!” ujarku sambil melangkah masuk ke taksi yang sudah menunggu sedari tadi. “Nanti Aku kabarin kalo udah sampai”
“Hati-hati ya, Laura. Segera hubungi Mama kalau supir taksi nya bertindak mencurigakan atau me...”

“JALAN PAK. BURUAN”

Ya ampun mama.

----------------------------------------

[Rena]: Mungkin gara-gara Elo belum punya pacar?

Rena memberikan pendapatnya lewat chat di BBM ku. Ini sudah kesekian kalinya aku bercerita padanya soal kekhawatiran Mama yang selalu diluar kewajaran. Dan ini juga sudah kesekian kalinya Rena mencoba menerka apa alasan Mama. Tapi pendapat yang ini agak konyol.

[You]: Ya kali. Doain aja deh gue segera dapet satu sepulang dari sini. Yang ganteng, banyak duitnya dan kemana-mana pake kuda putih.
[Rena]: Hahaha enak aja. Itu kan tipe gue!!
[You]: Siapa cepat dia dapat Ren. Haha :p

Bus yang aku dan peserta lain tumpangi masih belum bergerak. Biasa, macet musim liburan. Ini sudah hampir satu jam dan belum juga ada tanda-tanda kendaraan ini akan melaju lagi. Aku sudah memutar hampir seluruh lagu di Mp3 Player-ku, sudah menghabiskan dua bungkus coklat ukuran medium dan sebotol air mineral. Tapi tak ada efek. Semuanya mulai terasa membosankan.

Di luar sudah mulai terlihat laut. Berarti mungkin sudah tak jauh lagi dari lokasi pelabuhan. Ya, saat ini aku dan sembilan belas orang lainnya menjadi peserta liburan di kawasan pulau lombok karena berhasil mengisi kuis Teka-teki Silang di sebuah majalah. Sebanyak 20 orang berhasil menjawab dengan nilai sempurna dan berhak memenangkan tiket. Konyol memang. Sejujurnya akan lebih keren bila tiket liburan ini didapat dari lomba cerpen atau sayembara novel atau kompetisi design. Teka-teki silang terdengar purba di zaman gadget ini.

“BUAHAHAHAHAHA!!!”

Sebuah tawa keras yang memekakkan telinga tiba-tiba meledak dari bangku sebelahku. Aku terlonjak kaget. Orang itu pun terlonjak kaget. Sebentar ia kelihatan k, sambil celingak-celinguk mencari-cari di mana suara tawa itu berasal dan ia kelihatan pucat saat mengetahui bahwa itu suara alarm ponselnya.

Orang aneh.

Yang kurang kerjaan.

Kemudian ia menoleh dengan gesture minta maaf kepada semua orang yang sedang memperhatikannya. Memang hampir semua orang yang ada di dalam bus menatapnya penuh tanda tanya. Dasar sinting, barangkali begitu isi kepala mereka.

“Maaf ya, Mbak. Saya nggak bermaksud mengganggu.” bisiknya padaku.
“Oh ya? Tapi yang barusan mengganggu banget lho, Mas.”

Dia tampak makin gugup. Aku berusaha menahan senyum.
 
“Iya Mbak, maaf. Saya dikerjain teman Saya. Saya sendiri juga kaget.”
“Oooh..” Aku pura-pura mengerti.

Lelaki di sampingku masih kasak-kusuk mengutak-atik isi ransel nya. Lalu berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam dan menutup mukanya dengan sapu tangan.

Tipikal orang kantoran.
Kaku, kikuk, sedikit culun.

“Kok bisa dikerjain segala?” tanyaku iseng.

Rasanya mau mati karena bosan. Mungkin sedikit ngobrol bisa membuatku terhibur. Walaupun sebenarnya orang di sebelahku ini tak kelihatan seperti orang yang bahan obrolannya akan menghibur. Atau memang, jangan-jangan ia malah akan membuatku semakin bosan?

Sial.
Nyesel deh nanya, bisikku dalam hati.

“Entahlah. Mungkin agar Saya sedikit lebih ceria?” ujarnya sambil menyeka keringat. “Menurut mereka Saya ini kaku, kikuk, terlalu pendiam, kurang ekspresif atau semacam itulah.”

“Memang,” bisikku sambil nyengir.

“Masa?”
“Nggak. Cuma bercanda.”
“Oh, gitu.” Ucapnya datar.
“Nah, kan? Emang bener!” tawaku meledak.

Ia tersenyum kecut. “Saya salah jawab ya?”

“BUAHAHAHAHAHA”
Tawaku meledak makin keras.

Kemudian sebelum semua orang melihat ke arahku dan berbisik “Orang sinting” di kepala mereka, segera kudekap mulutku.

Lalu kami berkenalan. Umurnya ternyata hanya setahun di atasku. Namanya Abdi Kuncoro. Ya ampun, nama yang sungguh cocok. Formal. Resmi. Kaku. Tipikal orang-orang yang bekerja memakai dasi dan jas, paginya minum kopi dan roti tawar, malamnya lembur dengan setumpuk dokumen.

Menurutnya, teman-teman di kantornya lebih fleksible daripada dirinya. Di waktu senggang, teman-temannya hobi hura-hura di karaoke atau kafe, sementara ia lebih suka membaca di perpustakaan kantornya. Teman-temannya suka jalan-jalan di akhir pekan, dan ia lebih suka di kontrakannya, menulis artikel ilmiah untuk dikirim-kirim ke berbagai konferensi. Atau bila sedang tak ingin di rumah ia bersepeda keliling kota. Poin yang terakhir boleh lah, tapi yang lainnya terlalu parah. Aku curiga sebenarnya dia ini bukan manusia biasa.

Teman-temannya sering mengerjai nya agar ia sedikit lebih santai. Agar ia tidak terlalu serius dalam segala hal dan mulai menjalani hari dengan lebih “berwarna”. Lalu lelucon alarm tawa tadi adalah salah satunya. Menarik juga, pikirku. Mungkin saat di pulau nanti aku bisa mengerjainya dengan beberapa lelucon.

Kemudian bayangan capit kepiting, ubur-ubur, seafood dengan merica ekstra pedas dan lain-lain berkelebat di benakku. Tanpa sadar aku tersenyum.

“Apanya yang lucu?” tegurnya pelan.
“Kamu,”
“Aku?”
“Hahaha. Lupain aja.”

Kemudian giliran aku yang bercerita. Tentang kuliahku yang tinggal satu semester lagi, tentang hobi mengoleksi batu yang sudah kujalani sejak kelas dua SD, tentang kebiasaan burukku yang tidak bisa diam, dan soal bagaimana aku bisa memenangkan hadiah tiket liburan ini.

“Mengoleksi batu?” ujarnya mengerutkan dahi.  Kemudian ia melepas kacamata nya dan kembali mengelap keringat.
“Iya. Bukan batu-batu biasa di jalanan lho, ya. Batu-batu sungai yang warna nya cantik”
“Hobi yang aneh” bisiknya sambil tersenyum.

Wow.
Orang ini ternyata lumayan ganteng juga.

“Asyik lho” Ujarku.
“Masa?”
“Iya, asyik banget. Aduhh, Kamu jangan terlalu lurus dong. Sekali-kali harus mencoba hal-hal aneh. Minimal kamu jadi bisa tau lebih banyak dan pandangan kamu bakal lebih luas. Percaya deh!”

Abdi mendadak diam. Sesaat ia menatap ke arah jendela di samping nya. Kelihatannya seperti sedang memikirkan sesuatu atau sedang menenangkan hati.

Aku jadi salah tingkah.
Apa aku sudah membuatnya tersinggung?

“Aku salah ngomong, ya?”
“Nggak kok,” bisiknya. “Mungkin Kamu ada benarnya. Rasanya selama ini aku terlalu lurus.”
“Maksudnya?”

“Yah..” ia menatapku dalam. “Sejujurnya, yang ada dalam pikiran ku selama ini hanyalah obsesi untuk menjadi orang normal berprestasi. Juara di sekolah, nilai IPK bagus, gelar yang sulit dicapai orang lain, pekerjaan yang sempurna dengan gaji tinggi. Semuanya sesuai dengan kehendak orang tuaku. Dan… entah kenapa kok akhir-akhir ini rasanya mulai membosankan.”

“Sabar,” ujarku sembarangan sambil menatap langit-langit bus. “Kalau Kamu mau, Aku mungkin bisa membantu lho. Maksudku, supaya kamu nggak terlalu lurus lagi jadi orang. Hidup ini nggak akan indah kalau cara hidup kamu kayak gitu.”

“Serius?”
“Iya.”
“Thanks. Ini pertama kalinya lho, Aku curhat sama orang asing” ujarnya sambil tersenyum makin lebar.

Wow. I mean, WOW.
Orang ini lebih dari sekedar ganteng ternyata.

“Kok orang asing? Kita kan udah kenalan! Haha”
“Iya sih,” Ujarnya sambil kembali mengenakan kacamata.

“Tunggu deh,” ujarku sambil mengambil kacamata nya. “Pelajaran pertama, mending kamu ganti kacamata norak ini sama contact lens.”
“Karena?”
“Kacamata itu bikin kamu kayak orang kantoran era 80-an. Haha”

Tak lama bus yang kami tumpangi kembali bergerak. Syukurlah. Namun sebenarnya aku sudah tak keberatan lagi bila kemacetan tadi berlangsung lebih lama. Toh, aku baru menemukan Abdi. Aku tak lagi merasa bosan.

Tiba-tiba handphone ku berbunyi.

[Rena]: Lauraaaa! Barusan gue ditembak Alex!
[You]: Congrats naa! Eh gue juga baru ketemu seseorang nih. Doain bisa lebih deket ya, hahaha
[Rena]: Siapa?
[You]: Cowok kantoran. Yang ganteng, banyak duitnya dan kemana-mana pake kuda putih. Pas banget sama yang gue cari kan? hihihi. Eh tapi nggak juga sih, soalnya dia nggak pake kuda. Tapi dia pake sepeda katanya hahaha

--END--


*Saya publish juga di Majalah Online penuh cerita, AOMAGZ*
Sumber gambar dari sini

29 komentar:

  1. sorry mas saya baca dua kali gak ngerti hehehehe
    tapi ane suka karakternya sih. cuma alur jalan ceritanya aja saya gak ngerti. maklum saya jarang baca cerpen jadi gak sensitif mas.

    tapi keren ane juga pengen bisa nulis serapih n sebagus mas aul

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak apa-apa kok mas nyantai aja

      Yah.. memang ada orang yang bisa baca cerpen dan ada juga orang yang bisanya baca berita doang. Ada yang bisa baca novel ada juga yang cuma bisa baca komik doang

      thanks

      Hapus
  2. Mama dimana-mana karakternya sama kali yee. Suka larang ini itu dan suka ngasih tau panjang lebar tapi sama anaknya kadang ngga di dengerin karena merasa bosan denger ocehan mama yang seperti itu xixixi

    BalasHapus
  3. jadi masih ada ya kata ditembak hahahahahhhh
    yaampuunnn udah lama melangkah dari masa remaja nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha yadehhh yang idah lama berada di dunia prang dewasa

      Hapus
  4. mana endingnya mana auuul? penasaran nih. lanjutin ah. tanggung jawab.

    BalasHapus
  5. Seru juga nih kalo beneran... jalan-jalan sekalian dapat calon gebetan... Hihihihihi..

    BalasHapus
  6. Baru tau nih kalau Aul juga jago bikin cerpen. Suka ceritanya.

    BalasHapus
  7. Jadi endingnya gmn?
    kok ga ada adengan diboncengin gitu sih #malahrikues

    BalasHapus
  8. Yeay.. Aul nulis cerpen lagi. Terima kasih sudah memberikan bacaan hari ini.

    BalasHapus

  9. “Tunggu deh,” segera kuambil kacamata nya. “Pelajaran pertama, mending kamu ganti kacamata norak ini sama contact lens.”
    “Karena?”
    “Kacamata itu bikin kamu kayak orang kantoran zaman 80-an. Haha”

    Persis seperti saya yang juga memakai kaca mata, pengen banget deh bisa terbebas dengan kacamata min...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo kacamatanya biasa aja sih nggak apa-apa kok...

      kalau di cerpen ini maksudnya kacamatanya itu kacamata jadul yang tebal banget itu..

      Hapus
  10. Bagus. Kenapa gak coba dikirim ke media aja sih?

    BalasHapus
  11. aul keren ya, ternyata selain cakep bisa bikin cerpen juga :)

    BalasHapus
  12. coba saja atuh bikin bukunya mas

    BalasHapus
  13. Ih Aul bisa aja bikin cerpen dari sudut pandang perempuan. Awas keterusan lho. Kayak gue, yang sampai sekarang jadi susah bikin cerita dari sudut pandang pria. Sekarang cerpen2nya feminin kebanyakan. Kelelakian gue patut dipertanyakan. >_<

    BalasHapus
    Balasan
    1. it's not a problem, actually

      lo curhat bang?
      wkkwkwkw :B

      Hapus

Thanks for dropping by!
Leave some comments here if you want. Use your gmail or blogger or google account to comment. If you do not have one, choose Name/URL.

For private comments or questions just send me email to Aulhowler@yahoo.com

Thank you :)